Menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), evolusi AI akan mengganggu 85 juta pekerjaan secara global antara tahun 2020 dan 2025 dan menciptakan 97 juta peran pekerjaan baru, sehingga mengharuskan sekitar 40 persen tenaga kerja global untuk melakukan pelatihan ulang dalam tiga tahun ke depan.

Sekitar 40 persen pekerja perlu melakukan pelatihan ulang karena kecerdasan buatan dan otomatisasi selama tiga tahun ke depan, yang berarti 1,4 miliar dari 3,4 miliar orang di angkatan kerja global, berdasarkan studi baru.

Menurut perusahaan teknologi besar IBM, sekitar 87 persen eksekutif mengatakan bahwa peran pekerjaan harus ditingkatkan, bukan digantikan oleh AI generatif. Angka tersebut mendekati tiga perempatnya di bidang pemasaran (73 persen) dan layanan pelanggan (77 persen) dan lebih dari 90 persen di bidang pengadaan (97 persen), bidang risiko dan kepatuhan (93 persen), serta layanan keuangan (93 persen).

Tiga dari empat eksekutif mengatakan posisi entry level sudah terkena dampaknya, sementara hanya 22 persen mengatakan hal yang sama terjadi pada posisi eksekutif atau manajemen senior.

Hanya 28 persen CEO yang telah menilai potensi dampak AI generatif terhadap tenaga kerja mereka saat ini.

“Seiring dengan terus berkembangnya AI, dampaknya kemungkinan besar akan meningkat secara menyeluruh, termasuk di jajaran manajerial dan eksekutif. Tidak ada tingkatan yang tidak terkena dampaknya. Hal ini akan memaksa para eksekutif untuk memikirkan kembali peran pekerjaan, keahlian, dan cara kerja diselesaikan." kata penelitian tersebut.

Mereka juga memperkirakan bahwa 44 persen keterampilan pekerja akan tergantikan selama tahun 2023 dan 2028. Ini menciptakan tekanan yang signifikan bagi pekerja untuk terus mengembangkan keterampilan baru dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya adaptasi teknologi dalam menghadapi perubahan akan menjadi kunci untuk menjaga daya saing dalam dunia kerja yang terus berubah.