Akhir-akhir ini, banyak terjadi fenomena flexing di media sosial. Di era media sosial, membagikan berbagi cuplikan kehidupan kita sudah menjadi kebiasaan. Flexing di media sosial mengacu pada tindakan memamerkan kekayaan, prestasi, dan status dengan cara yang mencolok dan sering kali berlebihan. Perilaku flexing bisa mencakup berbagi foto dan video dari mobil mewah, rumah besar, perjalanan mewah, atau barang-barang mahal lainnya. Flexing juga dapat melibatkan tampilan gaya hidup glamor, seperti makan di restoran mewah atau menghadiri acara eksklusif. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kehidupan yang sukses, bahagia, atau bergengsi.  Perilaku ini biasanya dilakukan di platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Twitter.

Lantas, bagaimana asal-usul kata flexing itu sendiri? Kata ini awalnya merupakan bahasa gaul yang terkenal sejak tahun 1990-an di kalangan ras kulit hitam. Arti dari kata itu sendiri adalah ‘pamer’. Kata flexing yang memiliki arti ‘melenturkan otot’ kemudian menjadi gambaran untuk menunjukkan kekuatan seseorang. Sehingga, flexing menjadi metafora bahwa seseorang sedang menunjukkan keberaniannya dan kesiapannya untuk bertarung. Kemudian, di tahun 2014, kata flex atau flexing muncul di lagu No Flex Zone karya Rae Sremmurd yang berarti sikap menjadi diri sendiri dan tidak pamer atau berpura-pura. Sehingga, makna kata flexing pun semakin bergeser menjadi ‘pamer’ dan orang yang sering flexing dianggap palsu dan sombong.

Untuk menghindari perilaku flexing, pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Dicky C. Pelupessy, Ph.D., menyarankan agar individu bisa mencoba counter thinking dan berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak, termasuk ketika ingin mengunggah sesuatu di media sosial. “Coba pikirkan sebenarnya bagaimana reaksi orang-orang saat melihat saya melakukan flexing. Apakah mereka benar-benar akan memuji atau justru tidak memuji,” kata Dicky, dilansir dari Antara.